BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Objek studi
retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali
dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema¬tian, lamaran, perkawinan,
dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi.
Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. “Sejarah
manusia”, kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato
tokoh-tokoh besar dalam sejarah, “terutama sekali adalah catatan peristiwa
penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan
kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter¬kenal dengan kefasihan
bicaranya yang menawan”.
Uraian sistematis
retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di
Pulau Sicilia.Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk
kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana
mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika
me¬mang mirip “ilmu silat lidah”. Corax meletakkan dasar-dasar organisasi
pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen,
penjelasan tambahan, dan kesimpulan.
Berbeda dengan Gorgias,
Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas
dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat
memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan
rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih
pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan
berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini,
ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari
persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar,
meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan
suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah
diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-¬jasanya kepada negara dan atas
kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan
memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan
anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya,
Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota.
Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda.
Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku.
Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari
kemiskinan. Persaudaraan karena profesi Duel antara dua orator itu telah dikaji
sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis.
Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh
yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif
adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas
masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra.
Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika
menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris¬an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris¬an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah
yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya
kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para
pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing.
Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang
tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam
mereka. Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus
yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa
yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para
prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates,
adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates
yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan
Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang
benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang
berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif.
Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan
retorika yang benar yang membawa orang
kepada hakikat Plato membahas
organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan
para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato
meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah
mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana
ilmiah. Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika
ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari
Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta¬hap penyusunan
pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti
khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles,
retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian
tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga,
pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan
kebutuhan khalayak.
Aristoteles
menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup
menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas,
kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda
harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih
sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan
emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan
mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak
lewat otaknya (logos). Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles
menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem
dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran) adalah
sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian
ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena
sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda
ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis mayor, minor, dan kesimpulan. Semua
manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda
manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan).
Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita,
saya berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai
perasaan iba kepada orang yang menderita “. Ucapan yang ditulis miring
menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan. Di samping entimem, contoh adalah
cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat
kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx.
Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio
(penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan
pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus
dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut
ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan
epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan
kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan. Elocutio (gaya). Pada tahap ini,
pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas”
pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini gunakan bahasa yang tepat, benar,
dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung sampaikan kalimat
yang indah, mulia, dan hidup, dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan
pembicara. Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang
ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles
menyarankan “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan
retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli
retorika modern.
Pronuntiatio
(penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di
sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi
dari sini muncul kata hipo-krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis)
dan gerakan¬gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah retorika
pada zaman romawi, retorika abad pertengahan dan retorika modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika
Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah
memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang
lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang
sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica
tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika. Buku Ad
Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya
mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang
Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu,
kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga
kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang
disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis
berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya. Kemampuan Hortensius
disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan dalam keluarga kaya dan menikah
dengan istri yang memberinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai
negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis
banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak
menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia
percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik
juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang
sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa
Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda telah menemukan semua khazanah retorika,
dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan
yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih
agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas
kerajaan Romawi”. Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini.
Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya Pidatonya mempunyai
kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter
dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot, dalam menyentuh kebanggaan,
prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan dalam mengungkapkan secara keras
kelemahan lawan yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau
yang terbuka dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok
pembicaraan yang kurang menguntungkan dalam memberondong pertanyaan retoris
yang sulit dijawab dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat
periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana.
Dari
tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa
Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa
Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan deras tetapi
indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se-kolah
retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori
retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari
Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika
Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria Ia
mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator
harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik,
sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas
yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat
hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia
mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni, tarian, supaya ia memiliki
keanggunan dan ritma, drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan
tindakan gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan, sastra, untuk
membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran-pemikiran
besar, sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan
filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan
orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak
dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak.
Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin. Sebuah
saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man
speaks well.
B.
RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani
sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para
orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh
kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out
(menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi.
Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang
pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke
belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai
berbicara.
Abad pertengahan
sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen
berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen
waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani
dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara
otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk mnyampaikan kebenaran. St. Agustinus,
yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah
kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian
Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar,
menggembirakan, dan menggerakkan yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban
orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita
harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul
peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat
dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka”
(Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini,
“Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”. Ia sendiri
seorang pembicara yang fasih dengan kata-kata singkat yang mengandung makna
padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar
berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh
hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang
yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama
yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me¬namainya Madinat al-Balaghah (Kota
Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib,
mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every
antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence
and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung
kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng¬ikutnya
dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah). Balaghah menjadi disiplin
ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim
menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika
Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh
para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan
kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan,
masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
tradisional
C.
RETORIKA MODERN
Retorika modern
diartikan sebagai seni berbicara atau kemampuan untuk
berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara komunikator.
berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara komunikator.
Abad Pertengahan
berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang
itu, warisan peradaban Yunani diabai¬kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam yang
menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani dalam Perang Salib menimbulkan
Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang
pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio
dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah
berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja.
Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi. Renaissance mengantarkan kita
kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance
dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja
memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang
proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “ kewajiban retorika
ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih
baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak
menjadi kajian utama ahli retorika modern. Aliran pertama retorika dalam masa
modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis.
Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal usul, sifat, metode, dan
batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji
retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang
membahas proses mental). George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The
Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus
dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi
fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat
fakultas atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan,
dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada
upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan,
dan mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately
mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya
juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus
retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat
dan mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah
proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak
(audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis aliran pertama
retorika modern. Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles
lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan
keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi
informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles
Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik.
Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh
kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas
cita rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang
indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Cita rasa,
kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan
rasio ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan. Aliran pertama
(epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka
pada persiapan pidato pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran
ketiga disebut gerakan elokusionis justru menekankan teknik penyampaian pidato.
Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato,
“Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung
kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan
seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan
mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan
mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi
dan cara mengungkapkannya. Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik
karena perhatian dan kesetiaan yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti
kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan.
Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya
dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian
pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak”
atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain,
dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua
puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi
dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech
communication, atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini
diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1.
James A Winans
Ia adalah perintis
penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit
tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener.
Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan
persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi
terhadap proposisi-proposisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi
melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial
dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan
teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga.
Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2.
Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk
pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi
yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran
kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai ilmu tingkah laku.
Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga¬nisme. Pidato
merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam
penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal
berikut:
v
teliti
tujuannya
v
ketahui
khalayak dan situasinya
v
tentukan
proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut
v
pilih
kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah
The Fundamental of Speech.
3.
William Noorwood Brigance
Berbeda dengan
Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan
(desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan
hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan
kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur:
v
rebut
perhatian pendengar,
v
usahakan
pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda,
v
dasarkanlah
pemikiran pada keinginan,
v
kembangkan
setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4.
Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types
of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan
tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating
process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut
Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya
motivated sequence.
Beberapa sarjana
retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips
(Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social
Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman,
selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die
Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke
(Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini
retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication
diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu
mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di
luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh
speech courses terhadap prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa
pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech
group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih
terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan
mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian
ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen
synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih
teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang
membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena
dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil
memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek
retorika di masa depan.
1.
Pengertian
Retorika adalah
kecakapan berpidato di depan umum (study retorika di Sirikkusa ibu kota Sislia
Yunani abab ke 5 SM). Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik
pembujuk rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui
karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles
mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul ‘Grullos’
atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau
teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang
untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan
yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan
pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai
konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun,
definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan
studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan
definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika
yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Retorika adalah
memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis yang terdiri dari
Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir abad ke 5 SM). Retorika
adalah ilmu yang mengajarkan orang tentang keterampilan, tentang menemukan
sarana persuasif yang objektif dari suatu kasus (Aristoteles) Study yang
mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya (Richard awal
abad ke 20-an) Retorika adalah yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif
dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian
dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan retorika
adalah persuasi, yang di maksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah
yakinnya penanggap penutur (pendengar) akan kebenaran gagasan topic tutur (hal
yang di bicarakan) si penutur (pembicara). Artinya bahwa tujuan retorika adalah
membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur
2.
Beberapa
dimensi ideologi retorika.
a.
Dimensi
filosofis kemanusiaan, dimensi ini, mengedepankan pemahaman dari sudut identitas (ciri pembeda) antara eksistensi. Identitas pembedanya
v
Antara
makhluk manusia dengan selain manusia
v
Antara
manusia yang berbudaya
v
Antara
yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pandangan hidup
b.
Dimensi
teknis, berbicara adalah sebuah teknik penggunaan symbol dalam proses interaksi
informasi.
c.
Dimensi
proses penampakan diri atau aktualisasi diri. Berbicara itu adalah salah satu
keperluan yang tidak bisa ditinggalkan
d.
Dimensi
teologis, menyampaikan ajaran agama sesuatu yang wajib (dakwah)
Bicara juga ada seninya.
Bicara juga ada seninya.
Seni berbicara
memang erat kaitannya dengan seni mempengaruhi orang lain. Salah satu kuncinya
adalah kenali audiens. Dengan mengenali siapa yang diajak bicara,maka akan bisa
memprediksi apa dan bagaimana seseorang
harus bicara, agar ucapannya bisa dipercaya
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dua pihak yang
berkomunikasi membawa latar belakang pemahaman yang berbeda pula. Di benak
setiap orang yang berkomunikasi, umumnya telah tercipta image, persepsi dan
gambaran tentang lawan komunikasinya. Dalam banyak kasus, image bahkan dapat
tercipta sebelum bertemu muka dengan si obyek image. Image sendiri bukanlah
suatu fenomena yang buruk. Image yang tepat, dapat membantu kita dalam proses
komunikasi, namun demikian, kita harus menyadari bahwa Image dapat dimanipulasi
atau dikondisikan, secara sadar maupun tidak sadar, oleh diri kita sendiri,
atau obyek lain diluar diri kita.Untuk menjadi komunikator yang efektif, anda
sedapat-dapatnya harus mengenali karakteristik audiens anda, untuk menentukan
tehnik komunikasi apa yang harus anda gunakan untuk menyampaikan pesan anda.
Persepsi adalah
proses yang terintegrasi dalam individu, yang terjadi sebagai reaksi atas
stimulus yang diterimanya (bersifat individual). Sebuah konsensus (kesamaan
persepsi kolektif pada satu isu tertentu) yang tercapai melalui diskusi sosial
akan menimbulkan opini publik. Sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa
bersifat laten atau manifes. Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap
adalah suatu predisposisi terhadap sesuatu obyek, yang didalamnya termasuk sistem
kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek tersebut. Sikap
bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek kognisi dan afeksi, dan
menunjukkan kecenderungan perilaku.
3.2 Saran
Setelah membaca
makalah ini, pembaca diharapkan bisa memahami dan memgerti akan sejarah dan
teori retorika
SEJARAH DAN TEORI RETORIKA

Disusun
Nama : Surya Hasanah
Nim: 312012031
Prodi: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar